Hukum dan Kriminal

PERBUATAN PARA TERDAKWA MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN.

 

Surabaya : ( KABARAKTUALITA.COM ) – Tahapan pembelian unit apartemen Royal Afatar Word, yang diawali dengan adanya Surat Pesanan, atas nama Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor) Nomor: 2384T1/SP-RAW/B2017/V/2014 dan Surat Pesanan atas nama Dra. Linda Gunawati (saksi korban/pelapor) Nomor: 01025/TTP-RAW/CU1809/I/2014, yang kemudian kesepakatan antara saksi korban/pelapor, dengan perusahaan para terdakwa PT. Bumi Samudra Jenie dituangkan bentuk Surat Persetujuan Pemesanan, yang ditandatangai kedua belah pihak, yang diikuti adanya pembayaran.

Terhadap perjanjian yang termuat dalam Surat Persetujuan Pemesanan ini, telah memunculkan perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat post factum. Hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan.

Demikian pembelaan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso dalam Pledooi setebal 377 halaman, yang diberi judul “Melawan Mafia Hukum” yang dibacakan bergantian di pengadilan negeri Surabaya (3/1).

Menurut terdakwa Budi Santoso, perjanjian yang tertuang dalam Surat Persetujuan Pemesanan tersebut merupakan suatu perjanjian perdata yakni hubungan kontraktual di mana perjanjian tersebut sah dan terlaksana, menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, sehingga berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Berdasarkan pada kenyataan yang terjadi, antara perusahaan PT. Bumi Samudra Jedine dengan Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor), Dra. Linda Gunawati, dan kawan-kawan diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikad baik untuk memenuhi perjanjian.

Tidak ada maksud Para Terdakwa melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

“Sehingga dengan demikian tidak tepat apabila kami selaku Terdakwa didakwa melakukan dugaan penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan” ujar Budi Santoso.

Dalam hal ini nyata-nyata, menurut Budi Santoso, selaku terdakwa tidak pernah menyangkal, kewajiban PT. Bumi Samudra Jeddine untuk refunds itu ada. Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor), Dra. Linda Gunawati, dan kawan-kawan mempunyai hak untuk menagih guna memperoleh refunds penuh. Dan kami akan bertanggungjawab untuk itu.

Jadi hak Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor), Dra. Linda Gunawati, dan kawan-kawan untuk menagih refunds tidak hilang, bukan kerugian karena penipuan sebagaimana yang dipikirkan oleh JPU.

“Apabila pola pikir JPU ini dipertahankan maka semua wanprestasi akan menjadi penipuan dan semua refunds uang konsumen bisa ditagih dengan menggunakan pasal tentang Penipuan. Hal ini jelas akan merusak tertib hukum di Indonesia” ujar Budi Santoso.

*_JPU tidak mampu membedakan antara Wanprestasi dan Penipuan._*

Menurut Budi Santoso, JPU tidak mempu mebedakan antara wan prestasi dengan penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (1) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (2) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (3) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.

Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata, sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

“Sehingga suatu kasus wan prestasi sebagaimana yang terjadi dalam perkara ini hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kotraktual individual) seharusnya tetap dipandang dan diletakan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan pemaksaan rekayasa sebagai kasus kejahatan penipuan” tukas Budi Santoso lagi dalam pledooinya.

Sifat dan kualifikasi pidana penipuan delik fofmil – materiel maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378 KUHP. “Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan” ujarnya.
Menurutnya, ketentuan dalam Pasal 378 KUHP, seseorang bisa dihukum sebagai melakukan penipuan bila “dengan suatu kebohongan atau tipu muslihat “menggerakan” seseorang untuk menyerahkan suatu benda, mengadakan perjanjian hutang atau meniadakan piutang”. Jadi hubungan antara “kebohongan atau tipu muslihat” disatu pihak dan tindakan “menyerahkan barang, membuat perjanjian hutang atau membebaskan piutang” di lain pihak adalah jelas. Ada hubungan kausal, hubungan sebab-akibat, dimana si korban penipuan “menyerahkan barang, membuat perjanjian hutang atau membebaskan piutang” karena digerakkan oleh adanya “kebohongan atau tipu muslihat” si pelaku penipuan.

Dengan hubungan kausal demikian maka urutan kejadiannya adalah harus terjadi kebohongan atau tipu muslihat, lalu kemudian sebagai akibatnya timbullah perbuatan menyerahkan barang, membuat perjanjian hutang atau membebaskan piutang, tidak bisa sebaliknya;

“Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra tidak terbukti melakukan semua unsur yang disyaratkan dalam pidana penipuan sebagaimana yang dimaksud pasal 378 KUHP. Malahan sebaliknya justeru yang terbukti JPU yang melakukan pidana memberikan keterangan palsu dan serangkaian kebohongan didalam Surat Tuntutanya” tukas Budi Santoso lagi.
Pada sisi lainnya, JPU dinilai para terdakwa Budi Santoso gagal pula membuktikan penerapan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara ini. Karena JPU tidak menguraikan dengan jelas posisi masing-masing para terdakwa dalam delik pidana yang didakwakan, mengingat Penuntut Umum mencantumkan pasal 55 ayat (1 )Ke -1 KUHP yang mensyaratkan untuk menyebutkan dengan detail posisi dari pihak yang didakwakan, apakah peran para terdakwa dalam dakwaan ini sebagai Yang melakukan, atau yang menyuruh melakukan, atau yang turut melakukan serta melakukan perbuatan, ataukah yang melakukan sekaligus, dan perbuatan yang manakah yang dilakukan terdakwa sehingga dikualifiaksi sebagai penyertaan sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum.

Melalui majelis hakim, para terdakwa mewakili Direksi PT. Bumi Samudra Jedine dan Sipoa Grup, menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh konsumen yang telah dirugikan, akibat belum terbangunnya proyek apartemen Royal Afatar Word. Dan para terdakwa menyatakan akan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap sisa para konsumen yang menghendaki refunds.

“Hendaknya para konsumen tidak perlu ada kerisauan yang terlalu berlebihan, karena setidaknya PT Bumi Samudra Jedine masih memiliki aset yang nilainya jauh lebih besar, dibandingkan nilai total kewajiban kepada seluruh konsumen yang belum menerima refunds. Para terdakwa akan mendukung dan bersikap koperatif bila para konsumen ingin menjadikan asset Sipoa Grup sebagai jaminan refunds, dengan diikat Hak Tanggugan, sambil menunggu ada investor baru yang berminat” ujar Budi Santoso.

Dan pada bagian lainnya, terdakwa Budi Santoso menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada 200 orang konsumen yang tergabung dalam Tim Baik-Baik, yang telah bersedia menempuh penyelesaian dengan cara musyawarah, melalui mekanisme pemberian asset sebagai jaminan, yang diharapkan dapat menjadi role model terhadap penyelesaian konsumen lainnya. Serta mengucapkan terima kasih pula kepada Paguyuban PCS yang Dari Pembacaan Nota Pembelaan Terdakwa Sipoa di PN Surabaya

PERBUATAN PARA TERDAKWA MURNI MERUPAKAN HUBUNGAN HUKUM KEPERDATAAN

(Surabaya, Januari 2019) Tahapan pembelian unit apartemen Royal Afatar Word, yang diawali dengan adanya Surat Pesanan, atas nama Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor) Nomor: 2384T1/SP-RAW/B2017/V/2014 dan Surat Pesanan atas nama Dra. Linda Gunawati (saksi korban/pelapor) Nomor: 01025/TTP-RAW/CU1809/I/2014, yang kemudian kesepakatan antara saksi korban/pelapor, dengan perusahaan para terdakwa PT. Bumi Samudra Jenie dituangkan bentuk Surat Persetujuan Pemesanan, yang ditandatangai kedua belah pihak, yang diikuti adanya pembayaran. Terhadap perjanjian yang termuat dalam Surat Persetujuan Pemesanan ini, telah memunculkan perikatan antar kedua belah pihak yang bersifat post factum. Hubungan hukum antara kedua belah pihak merupakan hubungan hukum yang bersifat keperdataan. Demikian pembelaan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso dalam Pledooi setebal 377 halaman, yang diberi judul “Melawan Mafia Hukum” yang dibacakan bergantian di pengadilan negeri Surabaya (3/1)
Menurut terdakwa Budi Santoso, perjanjian yang tertuang dalam Surat Persetujuan Pemesanan tersebut merupakan suatu perjanjian perdata yakni hubungan kontraktual di mana perjanjian tersebut sah dan terlaksana, menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata. Sehingga berdasarkan pasal 1338 KUHPerdata menyebutkan bahwa “semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Berdasarkan pada kenyataan yang terjadi, antara perusahaan PT. Bumi Samudra Jedine dengan Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor), Dra. Linda Gunawati, dan kawan-kawan diikat melalui perjanjian yang sama-sama beritikad baik untuk memenuhi perjanjian. Tidak ada maksud Para Terdakwa melakukan penipuan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. “Sehingga dengan demikian tidak tepat apabila kami selaku Terdakwa didakwa melakukan dugaan Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Karena hubungan hukumnya merupakan hubungan hukum keperdataan” ujar Budi Santoso.
Dalam hal ini nyata-nyata, menurut Budi Santoso, selaku terdakwa tidak pernah menyangkal, kewajiban PT. Bumi Samudra Jeddine untuk refunds itu ada. Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor), Dra. Linda Gunawati, dan kawan-kawan mempunyai hak untuk menagih guna memperoleh refunds penuh. Dan kami akan bertanggungjawab untuk itu. Jadi hak Syane Angely Tjiongan (saksi korban/pelapor), Dra. Linda Gunawati, dan kawan-kawan untuk menagih refunds tidak hilang. Bukan kerugian karena penipuan sebagaimana yang dipikirkan oleh JPU. “Apabila pola pikir JPU ini dipertahankan maka semua wanprestasi akan menjadi penipuan dan semua refunds uang konsumen bisa ditagih dengan menggunakan pasal tentang Penipuan. Hal ini jelas akan merusak tertib hukum di Indonesia” ujar Budi Santoso.

JPU tidak mampu membedakan antara Wanprestasi dan Penipuan.
Menurut Budi Santoso, JPU tidak mempu mebedakan antara wan prestasi dengan penipuan. Wanprestasi dapat berupa: (1) tidak melaksanakan apa yang diperjanjikan; (2) melaksanakan yang diperjanjikan tapi tidak sebagaimana mestinya; (3) melaksanakan apa yang diperjanjikan tapi terlambat; atau (4) melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Pihak yang merasa dirugikan akibat adanya wanprestasi bisa menuntut pemenuhan perjanjian, pembatalan perjanjian atau meminta ganti kerugian pada pihak yang melakukan wanprestasi. Ganti kerugiannya bisa meliputi biaya yang nyata-nyata telah dikeluarkan, kerugian yang timbul sebagai akibat adanya wanprestasi tersebut. Wanprestasi ini merupakan bidang hukum perdata. Sedangkan penipuan masuk ke dalam bidang hukum pidana (delik pidana) (ps. 378 KUHP). Seseorang dikatakan melakukan penipuan apabila ia dengan melawan hak bermaksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
“Sehingga suatu kasus wan prestasi sebagaimana yang terjadi dalam perkara ini hakekatnya merupakan masalah murni keperdataan (kotraktual individual) seharusnya tetap dipandang dan diletakan secara proporsional dan tidak ditarik secara sederhana apalagi dengan pemaksaan rekayasa sebagai kasus kejahatan penipuan” tukas Budi Santoso lagi dalam pledooinya.
Sifat dan kualifikasi pidana penipuan delik fofmil – materiel maka secara yuridis teoritis juga diperlukan pembuktian bahwa korban penipuan dalam menyerahkan suatu benda dan seterusnya kepada pelaku tersebut, haruslah benar-benar kausaliteit (berhubungan dan disebabkan oleh cara-cara pelaku penipuan) sebagaimana ditentukan dalam pasal 378 KUHP. “Oleh karenanya pula realitas suatu kasus wan prestasi pun seharusnya tidak bisa secara simplifistik (sederhana) ditarik dan dikualifikasikan sebagai kejahatan penipuan” ujarnya.
Menurutnya, ketentuan dalam Pasal 378 KUHP, seseorang bisa dihukum sebagai melakukan penipuan bila “dengan suatu kebohongan atau tipu muslihat “menggerakan” seseorang untuk menyerahkan suatu benda, mengadakan perjanjian hutang atau meniadakan piutang”. Jadi hubungan antara “kebohongan atau tipu muslihat” disatu pihak dan tindakan “menyerahkan barang, membuat perjanjian hutang atau membebaskan piutang” di lain pihak adalah jelas. Ada hubungan kausal, hubungan sebab-akibat, dimana si korban penipuan “menyerahkan barang, membuat perjanjian hutang atau membebaskan piutang” karena digerakkan oleh adanya “kebohongan atau tipu muslihat” si pelaku penipuan. Dengan hubungan kausal demikian maka urutan kejadiannya adalah harus terjadi kebohongan atau tipu muslihat, lalu kemudian sebagai akibatnya timbullah perbuatan menyerahkan barang, membuat perjanjian hutang atau membebaskan piutang, tidak bisa sebaliknya;

“Berdasarkan fakta persidangan, terdakwa Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra tidak terbukti melakukan semua unsur yang disyaratkan dalam pidana penipuan sebagaimana yang dimaksud pasal 378 KUHP. Malahan sebaliknya justeru yang terbukti JPU yang melakukan pidana memberikan keterangan palsu dan serangkaian kebohongan didalam Surat Tuntutanya” tukas Budi Santoso lagi.
Pada sisi lainnya, JPU dinilai para terdakwa Budi Santoso gagal pula membuktikan penerapan pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam perkara ini. Karena JPU tidak menguraikan dengan jelas posisi masing-masing para terdakwa dalam delik pidana yang didakwakan, mengingat Penuntut Umum mencantumkan pasal 55 ayat (1 )Ke -1 KUHP yang mensyaratkan untuk menyebutkan dengan detail posisi dari pihak yang didakwakan, apakah peran para terdakwa dalam dakwaan ini sebagai Yang melakukan, atau yang menyuruh melakukan, atau yang turut melakukan serta melakukan perbuatan, ataukah yang melakukan sekaligus, dan perbuatan yang manakah yang dilakukan terdakwa sehingga dikualifiaksi sebagai penyertaan sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum.
Melalui majelis hakim, para terdakwa mewakili Direksi PT. Bumi Samudra Jedine dan Sipoa Grup, menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh konsumen yang telah dirugikan, akibat belum terbangunnya proyek apartemen Royal Afatar Word. Dan para terdakwa menyatakan akan bertanggungjawab sepenuhnya terhadap sisa para konsumen yang menghendaki refunds. “Hendaknya para konsumen tidak perlu ada kerisauan yang terlalu berlebihan, karena setidaknya PT Bumi Samudra Jedine masih memiliki aset yang nilainya jauh lebih besar, dibandingkan nilai total kewajiban kepada seluruh konsumen yang belum menerima refunds. Para terdakwa akan mendukung dan bersikap koperatif bila para konsumen ingin menjadikan asset Sipoa Grup sebagai jaminan refunds, dengan diikat Hak Tanggugan, sambil menunggu ada investor baru yang berminat” ujar Budi Santoso.
Dan pada bagian lainnya, terdakwa Budi Santoso menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada 200 orang konsumen yang tergabung dalam Tim Baik-Baik, yang telah bersedia menempuh penyelesaian dengan cara musyawarah, melalui mekanisme pemberian asset sebagai jaminan, yang diharapkan dapat menjadi role model terhadap penyelesaian konsumen lainnya. Serta mengucapkan terima kasih pula kepada Paguyuban PCS yang dipimpin Peter Yuwono, yang telah menandatangani dading (perdamaian) dengan para terdakwa. ( * Dji  )

Related Articles

Back to top button